Ridha, Gaung Dalam Ingatan

Mujib mengirimkan foto liang lahat untuk memakamkan Ridha, ditengah pekuburan dengan tanah berdebu. Tanah digali antara nisan berbagai ukuran. “Liang lahat sudah siap, ” tulisnya dengan antusias. Ia sudah dua pekan menunggu kakaknya dalam koma, tanpa letih dan selalu berpengharapan.

Hubungan kami bertiga sebagai saudara cukup unik, saling segan dan tak mau merepotkan yang lain. Sejauh ingatan, kami tak pernah bertengkar, dan selalu menghindar dari perselisihan. Kebiasaan yang sulit berada ditengah sembilan bersaudara.
Ridha ber pribadi tegas, dengan logika lurus dan mengalami kesulitan untuk mundur. Ia hanya tahu cara berjalan kedepan, sulit menyamping apalagi mundur. Cara ia melihat kenyataan adalah juga pandangan hidupnya. Ia selalu terpesona pada apa yang dilihat di depan mata, tanpa peduli asesoris dan arti simbolik dari suatu peristiwa. Ia percaya pada kearifan tindakan langsung. Bahwa fenomena lebih penting dari noumena.
Saya ingat pada awal masa reformasi pertengahan 90 an, ia tiba tiba berniat mendirikan surat kabar harian. Tentu saja saya heran dan terkejut. Bagaimana mungkin, ia yang belum punya pengalaman jurnalistik, tak gemar membaca, ditengah literasi penduduk yang terbatas, ekonomi paspasan ; ia ingin membangun koran harian yang bisa menyiram informasi yang beredar. Ia percaya bahwa kekuatan rakyat sesungguhnya dibangun melalui percakapan warga. Bahwa demokrasi ditenun oleh gosip, kecemasan dan harapan yang tumbuh dari masyarakat. Bahwa tugas koran hanya menyuling dan membesarkan apa yang justru terlihat tak penting bagi penguasa.
Ia memilih nama korannya GAUNG, yang berarti memperbesar getaran suara yang ada hingga menarik perhatian publik. Gaung adalah nama sekaligus pandangan dasar dan orientasi keredaksian. Bahkan selanjutnya, istilah gaung menjadi generik, bermakna ganda. Di-gaung-kan berarti penonjolan peristiwa atau trial-by the press — semacam tangkap tangan KPK. Pilihan sikap yang sering membuatnya acap berhadapan dengan keberatan hukum. Ridha percaya bahwa kebenaran akan muncul, justru setelah dipercakapkan pada situasi nyata, bukan sebaliknya. Ia menolak teori dan kaidah, ia membela comonsense dan pendapat umum.
Peredaran korannyapun tak lazim. Bersandar pada edaran ojek jalanan (sebelum ada gojek dan grab) serta titipan kendaraan antar desa kecamatan. Gaung dan penggaungan kemudian menjadi gerakan yang memiliki metode sekaligus tujuan demokrasi akar rumput.
Dua dekade lebih ia bertahan dan setia pada sikapnya, menerbitkan Gaung setiap hari, untuk melawan teknologi dan akal imitasi (AI) sekuat kuatnya. Ia bagaikan dalam kisah Don Kisot De Lamancha ketika melawan baling baling, sehingga sempat saya juluki Don Rida. Ia hanya tersenyum dan tetap ingin berjalan kedepan.
Pada tahun 1918 saat pemakaman ayah; hari berikutnya ia mengajak untuk menyusuri makam kakek dan nenek di pemakaman tua di Labuan Bontong di Teluk Saleh. Disamping areal makam, terdapat hamparan tanah seluas satu hektare yang hanya dilapisi rumput. Tanah itu selalu bergoyang seperti gelombang, dan kini tetap menjadi misteri yang diceritakan secara berbisik. Tanah ini seperti kasur air, yang jika kita berjalan, tubuh harus condong ke depan. Jika mundur pasti terjengkang. Jika kesamping hanya bisa diam, agar tak jatuh. Tempat yang dinamakan Liang Ruru (lobang runtuh), semasa kecil memang jadi favorit kami saat menggembalakan kambing dan kerbau. Rupanya Ridha menyimak benar kebajikan Liang Ruru, sehingga menjadi pegangan hidupnya. Bahwa berjalan harus kedepan, tak boleh mundur.

Baca Juga :  Segenap Keluarga Besar JMSI NTB Mengucapkan Atas Terpilihnya H Rudi Hidayat Sebagai Ketua Litbang JMSI Periode 2020-2025

Setelah melihat foto Liang Lahat yang digali dan kenangan atas Liang Ruru ini, saya tiba tiba teringat puisi Chairil Anwar ;

NISAN
kepada nenekanda,

” Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridhaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertakhta ”

Bagi Ridha, hidup bukannya untuk menunda kekalahan. Tetapi kesetiaan untuk terus berjalan kedepan. Terus melipat waktu.

Taufik Rahzen
Liang Ruru, 9 Januari 2025.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *